ADA BANYAK hal dalam Islam yang disyariatkan tanpa dijelaskan sebabnya, misalnya jumlah rakaat shalat wajib yang berbeda-beda, atau putaran thawaf yang tujuh kali dan melawan arah jarum jam, atau bertayammum menggunakan tanah/debu.
Kita diminta tunduk tanpa menggugat, apalagi mengkreasikan bentuk baru. Inilah yang disebut dengan “ta’abbudiyah”, yaitu hal-hal yang mana kepatuhan kepada ketentuan syariat di dalamnya merupakan bagian paling asasi dari ibadah itu sendiri.
Sekilas, jumlah rakaat shalat memang terkesan janggal. Terkadang pikiran nakal kita menerka-nerka, mengapa shalat Isya’ harus empat rakaat padahal di saat itu kita sangat mengantuk dan kelelahan?
Mengapa shalat Zhuhur dan Ashar terdiri dari empat rakaat, padahal jam istirahat kantor begitu pendek atau kita sangat capek setelah beraktivitas seharian? Di sisi lain, mengapa rakaat shalat Subuh cuma dua dan Magrib hanya tiga, sementara ketika itu justru relatif longgar dan segar?
Sebenarnya, kita tidak benar-benar memahami rahasia di balik kehendak Allah yang gaib ini. Namun, mari mencermati riwayat-riwayat yang ada untuk sedikit memuaskan rasa penasaran. Siapa tahu, kita juga bisa memahami sebagian dari hikmah di dalamnya.
Dan, dalam kadar tertentu, ketika penjelasan definitif tidak bisa didapatkan, maka sekedar mengetahui kisah-kisah yang melatarbelakangi penetapan suatu kewajiban pun sudah cukup.
Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata, “Allah mewajibkan shalat – dulu pada saat pertamakali Dia mewajibkannya – masing-masing sebanyak dua rakaat, baik ketika bermukim maupun bepergian. Lalu, shalat ketika bepergian dibiarkan tetap (dua rakaat), sedangkan shalat ketika bermukim ditambah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat lain, beliau berkata, “(Dulu) shalat ketika bepergian dan bermukim diwajibkan sebanyak dua rakaat. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bermukim di Madinah maka shalat ketika bermukim ditambah masing-masing dua rakaat. Shalat Fajar dibiarkan (yakni, tetap dua rakaat) karena panjangnya bacaan (di dalamnya), dan shalat Magrib (ditambah satu rakaat saja) karena ia bagaikan Witir bagi shalat di siang hari.” (Riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Hadits hasan-shahih).
Begitulah, pada zaman permulaan Islam shalat diwajibkan sebanyak dua rakaat saja. Ketika itu situasi tidak aman dan kaum muslimin senantiasa dibayangi ketakutan. Mereka selalu diintai, diganggu, dihalangi, bahkan disiksa bila menegakkan shalat.
Dengan kasih sayang-Nya, Allah meringankan beban-beban itu karena kondisi pada saat bermukim sama gentingnya dengan ketika bepergian. Jangan membayangkan bepergian di Jazirah Arab pada zaman itu senyaman naik kereta api, armada travel, atau pesawat udara di zaman kita.
Dulu, banyak suku Badui yang gemar merampok siapa saja yang mereka jumpai, dan – tentu saja – padang gurun bukanlah wilayah yang gampang untuk dilintasi.
Keadaan pun berubah setelah peristiwa Hijrah dan Islam tersebar luas. Situasi semakin aman dan tenang. Kaum muslimin bisa mengerjakan shalat di mana pun tanpa khawatir. Bahkan, Allah menjadikan seluruh permukaan bumi sebagai masjid dan tanahnya sebagai sarana bersuci.
Kapan pun dan di mana pun waktu shalat tiba, kita bisa bersujud di atas bumi Allah dan bersuci dengan debunya bila tidak ada air (Riwayat Muslim, dari Jabir dan Hudzaifah).
Hadits ‘Aisyah di atas juga menyingkap penggalan kisah lain: “mengapa shalat Subuh tetap dua rakaat?” Ternyata, dulu Rasulullah dan para Sahabat biasa membaca surah-surah panjang di dalamnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca surah as-Sajdah dan al-Insan dalam shalat Subuh di hari Jum’at, dan keduanya terdiri dari 30-an ayat (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah, dan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbas).
Beliau juga pernah membaca surah al-Mu’minun dalam shalat Subuh, namun sekitar ayat ke-50 beliau batuk sehingga langsung ruku’. Aslinya, surah ini memuat 118 ayat (Riwayat Ibnu Majah dari ‘Abdullah bin as-Sa’ib. Hadits shahih). Menurut Abu Barzah al-Aslami, Rasulullah biasa membaca 60 sampai 100 ayat dalam shalat Subuh (Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih).
Anas bin Malik juga bercerita, “Abu Bakar mengimami kami shalat Fajar, lalu beliau membaca surah Ali ‘Imran. Setelah selesai, dikatakan kepada beliau: ‘Matahari sudah hampir terbit!’ Beliau menjawab: ‘Andai pun ia sudah terbit, ia tidak akan mendapati kita termasuk orang-orang yang lalai.’” (Riwayat al-Bushiri. Seluruh perawinya bisa dipercaya).
Jabir bin Zaid (Tabi’in, w. 93 H) juga bercerita, “Ibnu ‘Abbas mengimami kami shalat Subuh, lalu beliau membaca surah al-Baqarah.” (Riwayat al-Bushiri).
Bila surah Ali ‘Imran berisi 200 ayat dan al-Baqarah memuat 286 ayat, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Sahabat tidak mungkin membaca Al-Qur’an dengan cepat dan serampangan, tapi justru dengan khusyu’ dan penuh perenungan, maka bisa dibayangkan seberapa lama shalat Subuhnya!
Hadits ‘Aisyah tersebut juga menjelaskan mengapa rakaat shalat Magrib berjumlah tiga, sebab ia diserupakan dengan shalat Witir. Kita mengerjakan tiga atau satu rakaat Witir sebagai penutup rangkaian shalat Tahajjud atau Tarawih di malam hari, demikian pula tiga rakaat Magrib merupakan penutup rangkaian shalat di siang hari.
Alhasil, setiap pergantian waktu malam maupun siang kita disyariatkan untuk menutup bilangan rakaat shalat dengan yang ganjil. Sebab, Allah itu tunggal/ganjil, dan Dia pun menyukai yang tunggal/ganjil (Riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Ustadz Alimin Mukhtar
Sumber : http://hidayatullah.or.id/