KENYATAAN hidup manusia menyajikan keragaman yang sangat luas, mulai dari segi fisik, bahasa, karakter, akhlak, intelektual, status sosial, sampai agamanya.
Di setiap segmen tersebut terdapat variasi yang sangat banyak mulai dari yang super, normal, sampai abnormal. Dalam hal ini, Allah hendak menguji kita masing-masing, apakah kita bersabar dan berbaik sangka kepada kehendak-Nya, ataukah tidak.
Allah berfirman:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya’: 35).
Demikian juga firman-Nya yang lain:
“Dan Kami jadikan sebahagian kalian cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kalian bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.” (QS. Al-Furqan: 20).
Oleh karenanya, kita diajari untuk memandang segala sesuatu dari sudut ini: bahwa semua hanyalah cobaan. Kaya, sehat, cantik, cerdas, dsb semua adalah ujian dari-Nya.
Demikian pula sebaliknya: miskin, sakit, jelek, bodoh, dst adalah ujian pula. Ada ujian kebaikan, ada pula keburukan. Allah hendak melihat siapa diantara kita yang lulus dan kelak mendapat balasan yang sempurna, atau sebaliknya gagal dan menerima sanksi yang mengerikan.
Generasi terdahulu sangat memahami hakikat ini, sehingga selalu berhati-hati dalam bergaul dengan siapa pun. Berkat ilmu dan iman, mereka paham siapa yang mengikuti jalan kebenaran dan siapa yang tersesat; tapi mereka tidak membanggakan diri.
Berkat kefaqihan dan ketulusan, mereka mengerti siapa yang konsisten di atas kebaikan dan siapa pula yang telah melenceng darinya; namun mereka tidak menepuk dada.
Ibnu ‘Abbas (atau Ibnu ‘Umar) berkata, “Seorang hamba atau seseorang tidak akan mendapati hakikat iman sebelum ia bisa melihat semua orang seakan-akan dungu dalam agamanya.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, al-Lalika’iy, dan Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd. Sanad-nya shahih).
Begitulah, mereka sangat memahami letak ketidakberesan iman dan amal orang lain, berkat ilmu dan kefaqihannya. Akan tetapi, di saat bersamaan, mereka pun menyadari kekurangannya sendiri yang jauh lebih banyak sehingga tidak berani menyombongkan diri, apalagi meremehkan orang lain.
Abu Darda’ berkata:
“Engkau pun belum benar-benar faqih selama belum membenci bagaimana perilaku manusia tatkala berhadapan dengan Allah, kemudian engkau mengarahkan pandangan kepada dirimu sendiri, dan ternyata engkau lebih membenci perilakumu sendiri ketika berhadapan dengan Allah dibanding kebencianmu terhadap perilaku manusia.” (Riwayat ‘Abdurrazzaq dan Abu Nu’aim al-Ashbahani).
Khalid bin Ma’dan (tabi’in, w. 103 H) berkata:
“Tidaklah seseorang mencapai kefaqihan yang sebenar-benarnya sebelum ia bisa melihat semua orang – di sisi Allah – hanya bagaikan binatang ternak, kemudian ia kembali melihat dirinya sendiri dan ternyata ia jauh lebih hina diantara yang hina.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd).
Mutharrif bin ‘Abdillah bin Syikhir (tabi’in, w. 95 H) berkata kepada murid-muridnya:
“Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri, pasti aku membenci kalian. Akan tetapi, ternyata aku tidak ridha kepadanya.” (Riwayat Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd).
Cara berpikir inilah yang melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) dan kasih sayang kepada sesama manusia, terlebih yang beriman. Setiap kali bertemu seseorang lalu melihat kekeliruan dan kesalahannya, mereka pasti berusaha sekuat tenaga untuk membimbing serta mengajari dengan ilmu-ilmu yang mereka miliki.
Namun, saat mereka kembali memeriksa dirinya sendiri, mereka mengetahui sedemikian banyaknya borok yang harus disembuhkan dan diobati. Mereka terus berdakwah dan mengajar, tapi di saat bersamaan tidak jemu-jemunya beristighfar dan bertaubat.
Akhlak generasi Salaf yang agung ini telah banyak ditinggalkan di zaman kita. Sekarang banyak orang yang matanya sangat tajam menyelisik dosa dan kekurangan orang lain, akan tetapi hidungnya gagal mencium aroma kebusukannya sendiri.
Oleh karenanya, Imam Al-Ghazali (Ihya’ Ulumiddin, III/364) menganjurkan kita meraih tawadhu’ dengan cara tidak pernah ‘membesarkan’ diri di hadapan siapa pun.
Yakini bahwa mereka pasti punya kelebihan dibanding kita. Ingat, betapa banyak orang meremehkan Umar bin Khatthab pada masa kafirnya, namun ketika hidayah telah meresap ke hatinya maka derajat seluruh kaum muslimin pun dilampauinya, kecuali Abu Bakar.
Bila melihat orang bodoh, katakan pada diri sendiri, “Ia bermaksiat kepada Allah dengan kebodohannya, sedangkan aku mendurhakai-Nya dengan ilmu. Ia lebih pantas untuk dimaafkan dibanding diriku.”
Bila melihat orang berilmu, katakan pada diri sendiri, “Ia mengetahui apa yang tidak aku ketahui. Bagaimana mungkin aku menyamainya?”
Bila melihat penganut bid’ah atau kafir, katakan pada diri sendiri, “Aku tidak tahu bahwa boleh jadi ia diakhiri kehidupannya dengan masuk Islam sedangkan aku justru diakhiri seperti keadaannya saat ini.”
Tentu saja, kita tidak boleh meridhai keburukan dan maksiat yang dilakukan siapa pun. Kita harus menguatkan diri untuk beramar ma’ruf nahi munkar, dengan memenuhi adab dan tatacaranya.
Hanya saja, tawadhu’ akan membimbing kita menuju sikap khawatir dan takut jika tertimpa keburukan, sehingga kita selalu waspada, tidak henti-hentinya memperbaiki diri, dan terjauh dari kelalaian.
Dengan tawadhu’ itu pulalah derajat generasi Salaf ditinggikan oleh Allah.
Rasulullah bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi harta. Dengan memaafkan, Allah tidak menambahkan kepada seseorang selain kehormatan/kemuliaan. Dan, tidak seorang pun yang bersikap tawadhu’ karena Allah melainkan akan diangkat derajatnya oleh Allah.” (Riwayat Muslim, dari Abu Hurairah). Wallahu a’lam.
Ustadz Alimin Mukhtar
Sumber : http://hidayatullah.or.id/